Labels

Social Media

Blogroll

Flag Counter

Labels

Kamis, 30 Juli 2015

SEDEKAH VS LOGIKA GAJI BULANAN

Selamat Malam Sahabat Blogger..!!! Malam Ini SANG MUSAFIR Akan Posting Tentang Perbandingan Sedekah vs Logika Gaji Kita. Semoga Berguna Bagi Para Pembaca & Sahabat Blogger Semuanya..!!!




Bismillahir-Rahmaanir-Rahim .. Saya menduga ia
berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan.
Karena penampilannya rapih, menarik dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga,
Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan.
Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup
yang dialaminya dengan sikap hidup yang
dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya
pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun. Satu kali kami bicara tentang penghasilan
sebagai
guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan
nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah
dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang
dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib
"guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa.
Yang membedakan sangat mencolok antara saya
dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat
berbudi. Darinya saya tahu hakikat nilai di balik
materi. Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak
logis untuk membiayai seorang isteri dan dua
orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki
tanggungan seorang adik yang harus
dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula
Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya,
hitungan matematika gajinya barulah bisa
mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya
dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.
"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan
angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis." "Maksud Mas Ajy gimana,
aku nggak ngerti?"
"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan
menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi
tamak, loba. Karena berapapun sebenarnya nilai
gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau
sedekah, untuk kita saja kurang."
"Kenyataannya memang begitu kan Mas?", kata
saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji
sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah.
Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya. "Ya, karena kita masih
menggunakan pola pikir
matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke,
sakarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang
sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur
tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?" "Tidak ada. Habis." jawab
saya spontan.
"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki
sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi.
Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga."
Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban
pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin
masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana
sisanya?
"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu
rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis ", saya tak sabar untuk mendapat jawabannya. "Ya
memang habis, karena kita masih memakai
logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola
pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang
yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah,
bisa jadi puluhan lontaran doa’ keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian
kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita
memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan
didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah
dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya
yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-
ujungnya masuk WC."
Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat
jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam
penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil
yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat. Sedekah
menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang
yang telah merasa cukup, bukan orang kaya.
Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau
sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia
merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi. Penekanan arti keberkahan sedekah
diutarakannya
lebih panjang melalui pola hubungan anak dan
orang tua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti
ingin menggarisbawahi, bahwa berapapun nilai
yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orang tua, belum bisa membayar lunas jasa-
jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya,
kecupan sayangnya dan sejagat haru biru
perasaanya. Tetapi di saat bersamaan, semakin
banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan
menggantinya berlipat-lipat. “Terus, gimana caranya Mas, agar bisa
menyeimbangkan nilai metematis dengan dimensi
sedekah itu?”.
“Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang
jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya.
Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga,
lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang
terakhir, padukanlah nilai qona’ah, ridha dan
syukur”. Saya semakin tertegun
Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup
yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini
pandangan saya tentang materi. Ada
keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada.
Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya
menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan
membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan. Ya Allah saya mendapatkan
satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya
ingin segera pulang dan mencari butir-butir
mutiara lain yang masih berserak dan belum
sempat saya kumpulkan.
- Abdul Mutaqin - Wallahu a'lam bish-shawab ... Semoga bermanfaat
dan Dapat Diambil Hikmah-
Nya ...
Sekian Dulu Postingan Saya Malam Ini, Semoga Bermanfaat Bagi Kita Semuanya..!!!

0 komentar

Posting Komentar